AR-RIWAYAH BIL-MAKNA
A. Pengertian dan Hakikat
Secara etimologis kata ar-riwayah bi al-ma’na terdiri dari kata ar-riwayah dan al-ma’na. Kata ar-riwayah telah di kemukakan terdahulu, sedang al-ma’na berarti maksud, arti, atau apa- apa yang di kehendaki. Jadi ar-riwayah bi al-ma’na berarti periwayatan hadits yang dilakukan oleh seorang periwayat dengan menggunakan lafal dari dirinya sendiri, baik keseluruhan maupun sebagian saja, dengan tetap menjaga arti atau makna yang terkandung didalamnya meskipun dibandingkan dengan hadits yang di riwayatkan dengan lafal atau teks aslinya.
Hakekat riwayat bi al-ma’na itu terjadi untuk satu hadits dalam satu peristiwa, yang diungkapkan dengan redaksi yang berbeda, dan perbedaan pada redaksi bukan karena perbedaan peristiwanya. Untuk mengatakan hadits itu diriwayatkan secara makna, maka harus diteliti dulu asbab wurud nya dan kapan hadits itu muncul.
B. Latar Belakang dan Munculnya
Sebagai mana yang kita tahu bahwa hadits pada zaman nabi tidak boleh ditulis karena ditakutkan akan bercampur dengan al-Qur’an. Nabi hanya memperbolehkan penulisan hadits bagi orang yang lemah hafalannya dan melarang orang yang kuat hafalanya untuk menilis hadits, karena di khawatirkan akan tergantung pada tulisan itu.
Lamanya masa pelarangan itu mengakibatkan pebedaan para sahabat dalam meriwayatkan hadits. Ada yang bisa meriwayatkan hadits dengan lafal yang persis, tapi tidak sedikit pula yang hanya bisa meriwayatkan ma’nanya saja.
Factor penyebab adanya riwayah bil makna:
a. Tidak semua hadits nabi diriwayatkan secara mutawatir lafdzi, berbeda dengan periwayatan al qur’an.
b. Pada masa nabi sampai masa sahabat, hadits nabi belum dibukukan bahkan pada awalnya para sahabat tidak menulis hadits nabi kecuali untuk sahabat-sahabat tertentu, sedangkan pada waktu itu periwayatan hadits hanya secara lisan.
c. Perbedaan kemampuan dalam menghafal dan meriwayatkan hadits Nabi.
d. Hanya hadits yang berbentuk sabda saja yang mungkin diriwayatkan secara tekstual, padahal hadits mungkin berupa sabda, perbuatan, takrir, hal dan ihwal.
C. Hukum Riwayah bi Al Makna
Secara garis besar pandangan ulama’ tentang riwayah bi al-makna di kategorikan pada tiga macam:
1. Tidak boleh secara mutlak
Alasan mereka adalah :
a) Perkataan nabi mengandung fashohah dan balagah yang tinggi, dan hadits-haditsnya merupakan ajaran yang bersumber dari wahyu Allah.
b) Nabi pernah mengkritik sahabat yang mengganti lafal hadits.
Pendapat mereka diperkuat dengan mengajukan beberapa faktor sebagai berikut:
a) Daya hafalan yang sangat kuat.
b) Pencatatan hadits oleh sebagian sahabat sangat membantu periwayatan secara lafal.
c) Adanya majlis yang sering digunakan untuk menerima dan meriwayatkan hadits sangat membantu mereka untuk mengishlah bila terjadi kesalahan.
Ulama’ yang tidak memperbolehkan riwayat bil ma’na di antaranya adalah Abdullah bin Umar, Umar bin Al Khattab, Qosim bin Muhammad bin Abu Bakar, Muhammad bin Sirrin, Malik bin Annas, Hammad bin Zaid dan Ahmad bin Hammbal.
2. Membolehkan secara mutlak
Pendapat ini merupakan pendapat yang dilarang, karena dengan kesembronoan dan ketidak hati-hatian dalam periwayatan akan menimbulkan perubahan–perubahan lafal yang menyebabkan perubahan makna. Periwayat yang termasuk golonga ini adlah Hasan al Basriy, Asy Sya’biy, Ibrahim an Nakha’iy. Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Aun, dia berkata,” adalah Hasan, Asy Sya’biy dan Ibrahim yang menyampaikan hadits secara ma’na.
3. Membolehkan dengan penekanan pemenuhan syarat
Pendapat ketiga ini merupakan penengah diantara yang mutasyadid dan mutasahil. Mereka menganggap bahwa ar-riwayah bi al-ma’na merupakan rukhshah bagi periwayat dalam keadaan dharurat seperti lupa lafal aslinya.
Pendapat ketiga ini banyak dianut oleh para sahabat, diantaranya adalah Aisyah, Abu Said al-Khudriy dan Wailah bin al Asqo’ juga oleh sufyan as Sauri, Sufyan bin Uyainah,dan Hammad bin Zaid.
Alasan mereka adalah:
a) Perbedaan lafal hadits yang tidak merubah ma’na diperbolehkan, yang tidak diperbolehkan adalah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.
b) Mengganti lafal hadits nabi dengan bahasa lain diperbolehkan. Maka, mengganti lafal hadits nabi dengan bahasa arab yang murodif adalah lebih baik.
c) Yang dilarang oleh agama adalah dusta kepada nabi dan merubah hadits-haditsnya.
Jumhur ulama’ sepakat dengan pembolehan periwayatan hadits secara makna, dengan beberapa syarat sebagai berikut:
a) Periwayat harus memiliki pengetahuan Bahasa Arab yang mendalam.
b) Periwayatan secara makna dilakukan karena sangat terpaksa.
c) Yang diriwayatkan secara makna bukan sabda yang bersifat ta’abudiy seperti zikir, doa dan azan.
d) Periwayat hendaknya menambahksn lafal ” "او كما قالsetelah mengatakan matan hadits yang bersangkutan.
e) Kebolehan riwayat bi al-ma’na terbatas pada masa sebelum di bukukanya hadits nabi secara resmi.
D. Implikasi periwayatan hadits bi al-makna
Sebgaimana yang dikutip dalam bukunya al Jazairiy Abu rayah mengatakan bahwa riwayah bil makna mengandung bahaya yang besar dan bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab parbedaan umat.
1) riwayah bil makna yang menyebabkan perbedaan redaksi akan menimbulkan kesalahan arti atau maksud hadits. Bahkan menyebabkan kedustaan walaupun tanpa sengaja, dengan menyandarkan perkataan kepada nabi yang sebenarnya nabi tidak mengatakannya.
2) riwayah bil makna bisa merusak kesempurnaan makna hadits. Dengan menghilangkan salah satu lafal hadits, maka suatu hadits menjadi tidak sempurna maknanya.
Ada beberapa hal yang menjadi implikasi dari adanya ar-riwayah bi al-makna:
1) al-ikhtisar dan at-Taqti
al ikhtisar artinya meringkas sedangkan at Taqti’ adalah memenggal matan hadits, maksudnya meriwayatkan sebagian hadits dan meninggalkan sebagian yang lain.
2) At-Taqdim dan at-Ta’khir
Salah satu bentuk dari ar-riwayah bi al-ma’na adalah periwayatan hadits dengan mendahulukan lafal yang tidak semestinya didahulukan (al-taqdim) dan mengakhirkan lafal yang semestinya didahulukan (al-ta’khir)
3) Az-Ziyadah dan an-Nuqsan
Az-Ziyadah berarti menambah dan an-Nuqsan berarti mengurangi. Maksudnya adalah menambah atau mengurangi lafal (matan) hadits yang sebenarnya.
4) Al Ibdal
Yaitu penggantian huruf, kata atau kalimat. Ulama’ ahli hadits melarang al ibdal karena akan menyebabkan perubahan arti dan kandungan hadits. Terutama yang berkaitan dengan penyebutan nama Allah dan sifat Nya. [1]
[1] Salamah noorhidayati, “Kritik Teks Hadis, Analisis tentang ar-riwayah bi al-ma’na dan implikasi bagi kualitas hadis”, TERAS. Yokyakarta. 2009, Cet. I
Tidak ada komentar:
Posting Komentar