HADITS SHOHIH
Menurut bahasa kata shahih memiliki arti syah, benar, sempurna sehat. Sedangkan menurut istilah, para ahli berbeda-beda redaksi dalam memberikan definisi hadits shahih, diantaranya ialah:
Al-Khathibiy membuat difenisi hadits shahih ialah hadits yang sanadnya bersambung dengan periwayatan seorang rowi yang tsiqqah dan berasal dari orang yang tsiqqah pula, mulai dari awal sanad sampai pada akhir sanad serta tidak ada kejanggalan dan cacat didalamnya.
Dari definisi diatas, dapat dipahami bahwa hadits dapat dikatakan Shahih jika didalamnya terdapat syarat-syarat sebagai berikut:[2]
a. Rawinya adil, dengan kriteri: beragama Islam, mukallaf, melaksanakan ketentuan agama, dan memelihara muru’ah.
a. Perawinya dhabith, dalam artian rawi dapat menguasai hadits dengan baik, baik dengan hafalan yang kuat atau dengan kitabnya, lalu ia mampu mengungkapnya kembali ketika meriwayatkannya.
b. Bersambung sanadnya, dalam hal ini untuk mengetahuinya dengan cara mencatat semua nama rawi dalam sanad yang diteliti, mempelajari sejarah hidup masing-masing rawi, dan meneliti kata-kata yang menghubungkan antara para rawi dan rawi yang terdekat dangan sanad.
c. Tidak ada cacat (mu’allat), maksudnya hadits itu terbebas dari sifat-sifat samar yang membuatnya cacat, meskipun tampak bahwa hadits itu tidak menunjukkan adanya cacat.
d. Tidak ada kejanggalan (Syad), artinya tidak ada perlawanan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih kuat (rajih) daripadanya, disebabkan kelebihan jumlah sanad dalam kedhabitan atau adanya segi-segi tarjih yang lain.
B. Klasifikasi Hadits Shahih[3]
a. Hadits Shahih Li Dzatihi
Hadist shahih li dzatih ialah hadits yang didalamnya telah terpenuhi syarat-syarat hadist maqbul secara sempurna.
Akan tetapi jika kualitas daya ingatan perawi kurang sempurna, maka hadits shahih li dzatih turun menjadi hasan lidzatihi. Akan tetapi jika kekurangan tersebut dapat ditutup dengan adanya hadist lain yang bersanad lain yang kualitas daya ingatannya lebih kuat, maka naiklah hadits hasan li dzatih menjadi hadist shahih lighoirih. Contoh :
لَوْلَااَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى أَوْعَلَى النَّاسِ لَأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوِاك مع كُلِّ صلَاةٍ. (رواه البخارى)
“Seandainya aku tidak takut memberatkan umatku atau manusia, niscahya aku memerintahkan mereka untuk bersiwak setiap kali hendak shalat.” (HR. Bukhari).
b. Hadist Shahih Li Ghairih
Hadist shahih li ghoirih ialah hadist yang tidak memenuhi sifat-sifat hadist maqbul secara sempurna, yaitu hadist yang asalnya bukan shahih, tetapi naik derajatnya menjadi shahih lantaran ada faktor pendukung yang dapat menutupi kekurangan yang ada.
Maksudnya ialah hadis yang tidak memenuhi secara sempurna syarat-syarat tertinggi dari sifat-sifat hadis maqbul. Hal ini bisa terjadi karena adanya beberapa hal, diantaranya ialah: 1) Perawi sudah diketahui adil, tetapi dari sisi kedhobitannya dinilai masih kurang. 2) Adanya hadist lain yang redaksinya sama atau sepadan dengan yang diriwayatkan melalui jalur lain yang setingkat atau lebih shahih atau yang sejalan dengan ayat Al-Qur’an atau dasar-dasar pokok keagamaan atau disepakati para ulama’ tentang penerimaannya.
Jadi hadits shahih li ghairih ialah hadits yang kualitas daya ingatan perawinya kurang, tetapi dikalangan ahli hadits ia dikenal sebagai orang yang jujur. Atau ditemukan hadits yang sama dengannya dari jalan lain yang kualitasnya sama atau lebih kuat, sehingga kekurangan yang ada padanya dapat tertutupi.
C. Kehujjahan Dan Stratifikasi Sanad dalam Hadist Shohih[4]
Para ulama’ muhaddatsin sebagian ahli ushul dan ahli fiqh bersepakat untuk menjadikan hadist shohih dapat dijadikan sebagai hujjah dan wajib diamalkan. Tetapi kesepakatan tersebut hanya terbatas pada penentuaan halal dan haram saja, bukan yang berkaitan dengan keyakinan atau aqidah, sebab keyakinan dan aqidah harus didasarkan pada Al-Qur’an dan hadist mutawattir bukan dengan hadits ahadi, sedang hadits shahih termasuk salah satu macam hadits ahadi dilihat dari sisi kualitasnya.
Oleh karena itu, maka stratifikasi hadist shohih tergantung pada sejauh mana kedhobitan dan keadilan para perawinya, semakin dhobith dan adil semakin tinggi pula strata kualitas hadist yang diriwayatkan.
Berdasarkan stratifikasi tersebut, para muhadditsin membagi strata sanadnya menjadi tiga, yaitu:
a. Ashahul asanid, ialah matarantai sanad hadits yang paling tingi stratanya
b. Ahsan al-Asanid, ialah matarantai yang tingkatannya dibawah tingkatan pertama.
c. Adl’af al-Asanid, ialah matarantai sanad yang tingkatannya di bawah tingkatan kedua.
D. Maratabat Hadist Shohih[5]
Para ulama’ bersepakat untuk menyatakan bahwa pada umumnya tingkatan hadits shahih secara berurutan adalah sebagai berikut:
1) Hadits yang disepakati oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim yang dikenal dengan istilah muttafaq’alaih.
2) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori sendiri.
3) Hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim sendiri.
4) Hadits yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Imam Bukhori dan Muslim sekalipun tidak ditakhrij oleh kedua imam itu.
5) Hadits yang diriwayatkan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Imam Bukhori sekalipun tidak ditakhrij oleh beliau.
6) Hadits yang diriwayatkan dengan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Imam Muslim, sekalipun tidak ditakrij oleh beliau.
7) Hadits-hadits yang dishahihkan oleh selain Imam Bukhori dan Imam Muslim, seperti Ibnu Huzaimah, Ibnu Hibban, sekalipun telah memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan oleh Imam Bukhori dan Imam Muslim.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar