Senin, 20 Desember 2010

makalah tentang Al-ghozali

BAB I
 PENDAHULUAN
A.   Latar belakang
            Mengkaji filsafat Islam tidaklah semudah membalikkan tangan. Karena di dalam mempelajari filasafat Islam terdapat muatan historis dan teologis. Secara  historis, tarik-menarik kepentingan bahwa orisinalitas filsafat berasal dari Yunani atau Islam adalah problem fakta yanmg tidak dapat dihindari.
            Di samping itu banyaknya filosof-filosof, baik Barat maupun Islam yang memiliki pemahaman yang berbeda-beda dalam memahami filsafat. Sehingga tidak dapat dipungkiri lagi banyak bermunculan filosof-filosof di berbagai belahan dunia dan memiliki pemahaman sendiri-sendiri tentang filsafat. Di kalangan umat Islam sendiri juga terjadi hal-hal yang semacam  itu. sehingga antara para filosof, ada sebagian yang menguatkan pendapat yang lain, tetapi ada juga yang menyangkal bahkan menganggap keliru pendapat filosof yang lain.
            Dalam makalah ini kami akan mencoba menjelaskan tentang salah satu filosof Islam, yaitu Imam al-Ghazali, beliau yang menentang tentang teori emanasi yang ditawarkan oleh al-Farabi dan Ibnu Sina serta filosof-filosof Islam lainnya.
B.   Rumusan masalah
1.      Biografi al-Ghazali
2.      Karya-karya al-Ghazali
3.      Pemikiran al-Ghazali
4.      Filsafat al-Ghazali
C.   Tujuan pembahasan
Mengetahui tentang biografi, karya-karya, pemikiran, dan filsafat Al-Ghazali. Selain itu juga pendapat al-Ghazali tentang Qodimnya alam, iradat Tuhan, kebangkitan jasmani, metafisika dan pandangan al-ghazaliu tentang etika.





BAB II
PEMBAHASAN

A.    Riwayat hidup Imam Ghazali
Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad at-Thusi al Ghazali. Beliau lahir pada tahun 1058 M/450 H di kota Ghazalah, sebuah kota kecil dekat Thus di Khurasan, yang pada saat itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia Islam. dan beliau  meninggal di  kota Thus pada tahun 1111 M/ 14 Jumadil Akhir 505 H pada umur 52–53 tahun, setelah mengadakan perjalanan untuk mencari ilmu dan ketenangan batin. Beliau adalah seorang pemikir Islam sepanjang sejarah Islam, filosof dan teolog dan sufi termasyhur. Nama al-Ghazali dan at-Thusi dinisbahkan pada tempat kelahirannya.[1]
Ayah Al-Ghazali adalah seoarang wara’  yang hanya makan dari usaha tangannya sendiri. Pada waktu senggangnya, ia selalu mendatangi tokoh-tokoh agama dan para ahli Fiqh di berbagai majlis dan khalawat mereka untuk mendengarkan nasihat-nasihatnya. Tampaknya tentang pribadi dan sifat-sifat ayah Al-Ghazali ini tidak banyak ditulis orang, kecuali pengabdiannya pada para tokoh agama dan ilmu pengetahuan.
Sang ayah wafat ketika Al-Ghazali dan saudaranya (Ahmad) masih dalam usia anak-anak. Ketika hendak wafat ayahnya berwasiat kepada teman dekatnya dari ahli sufi untuk membesarkan kedua anaknya tersebut. Ia berkata: “saya sangat menyesal dulu tidak belajar. Untuk itu, saya berharap agar keinginan itu terwujud pada kedua anak saya ini, maka didiklah keduanya dan pergunakanlah sedikit harta yang saya tinggalkan ini untuk mengurus keperluannya.”[2]
Al-Ghazali pertama-tama belajar agama di kota Thus, Ia belajar ilmu fiqh pada salah satu ulama bernama Ahmad bin Muhammad Ar-Razakani. kemudian meneruskan di kota Jurjan, Al-Ghazali mulai menuliskan ilmu-ilmu yang diajarkan oleh gurunya. Ia sendiri menulis suatu komentar tentang ilmu fiqh. Akan tetapi, di tempat ini mengalami musibah. Semua barang yang dibawa Al-Ghazali yang berisi buku-buku catatan dan tulisannya dirampas oleh para perampok, meskipun pada akhirnya barang-barang tersebut dikembalikan setelah Al-Ghazali berusaha keras untuk memintanya kembali.
Kejadian tersebut mendorongnya untuk menghafal semua pelajaran yang telah diterimanya. Akan tetapi pengetahuan-pengetahuan yang ia dapat di Thus, agaknya dirasa tidak cukup untuk membekali dirinya. Kemudian ia pergi ke Naisaburi, salah satu kota ilmu pengetahuan terkenal di zamannya. Di sini ia belajar ilmu-ilmu yang yang populer pada saat itu, seperti belajar tentang madzhab-madzhab fiqh, ilmu kalam dan ushul, filsafat, logika, dan ilmu-ilmu agama yang lain kepada Imam Haramain Abu al-Ma’ali al-Juwaini.
Pada masa itu dan dalam tahun-tahun berikutnya, sebagai seorang mahasiswa, al-Ghazali sangat mendambakan untuk mencari pengetahuan yang dianggap mutlak benar, yakni pengethuan yang pasti, yang tidak salah dan tidak diragukan sedikitpun sehingga kepandaiannya dan keahliannya dalam berbagai ilmu dapat melebihi kawan-kawannya. Al-Ghazali belajar di Naisaburi hingga Imam Haramain wafat pada tahun 478H/1085M.[3]

B.     Karya-karya al-Ghazali
Al-Ghazali adalah salah seorang ulama dan pemikir dalam dunia Islam yang sangat produktif dalam menulis. Dalam masa hidupnya, baik ketika menjadi pembesar negara di Mu’askar maupun ketika menjadi profesor di Baghdad, baik sewaktu skeptis di Naisaburi maupun setelah berada dalam perjalanan mencari kebenaran dari apa yang dimilikinya, dan sampai akhir hayatnya, Al-Ghazali terus berusaha menulis dan mengarang.[4]
Karangan al-Ghazali berjumlah kurang lebih 100 buah. Karangan-karangannya meliputi berbagai macam lapangan ilmu pengetahuan, seperti ilmu kalam (theologi Islam), fiqh (hukum Islam), tasawuf, akhlak, dan autibiografi. Sebagian besar karyanya adalah berbahasa Arab, dan sebagian lagi berbahasa Parsi. [5]
Di antara karangannya ada beberapa kitab yang kurang mendapatkan perhatian dikalangan ulama Indonesia. Namun sangat dikenal oleh negeri Barat. Di antaranya buku- akal bagaikan makanan (tujuan para ahli filsafat) dan Tahafut Al Falasifah (keberantakan para filosof).
Kitabnya yang terkenal yaitu Ihya Ulumuddin, yang artinya menghidupkan ilmu-ilmu agama, yang dikarangnya selama beberapa tahaun dalam keadaan berpindah-pindah antara Syam, Yerusalem, Hijaz dan Yus, dan berisi panduan indah antara fiqh, tasawuf, dan falsafah, yang mana buku ini tidak hanya dikenal dikalangan kaum muslimin, tetapi didunia barat dan luar Islam.
Bukunya yang lain yaitu al-Munqidz min ad-Dhalal (penyelamat dari kesesatan) berisi sejarah perkembangan alam pemikiran dan mencerminkan sikapnya yang terakhir terhadap beberapa macam ilmu, serta jalan untuk mencapai Tuhan. Di antara penulis-penulis modern juga banyak yang mengikuti jejak al-Ghazali dalam menuliskan auto biografinya.
Mengenai karangan al-Ghazali ini, ada penentangan dari kalangan fuqaha dan tasawuf, diantaranya adalah Ibnu Rusyd, hal ini adalah dikarenakan penentanga al-Ghazali terhadap para filosuf Islam, bahkan ia sampai mengkafirkan dalam tiga hal, yaitu:
1.      Penginkaran terhadap kebangkitan jasmani
2.      Membatasi pengetahuan Tuhan kepada hal-hal yang besar saja
3.      Adanya kepercayaan tentang qadimnya alam dan keasliannya
Penentangan ini termuat dalam kitabnya yang terkenal, yaitu: Tahafut al-Falasifah dan al-Muqidz min ad-Dhalal, Akan tetapi dalam bukunya yang lain, yaitu Mizan al-Amal,dikatakan bahawa ketiga persoalan tersebut menjadi kepercayaan orang-orang tasawuf juga. Juga dalam bukunya al-Madhnun ‘Ala Ghairi Ahlihi, ia mengakui qadimnya alam. Dan dalam bukunya ang lain, Mi’raj as-Shalikin ia menentang orang-orang tasawuf yang mengatakan hanya ada kebangkitan rohani saja. Jadi Ghazali menentang 3 hal tersebut dalam  beberapa bukunya, namun al-Ghazali mempercayai juga dalam buku-bukunya yang lain.[6]
Pengenai perbedaan ini para pembahas memiliki penafsiran yang berbeda-beda. Menurut Ibnu Tuffail perlawana tersebut merupakan suatu kontradiksi yang benar-benar dari pemikiran al-Ghazali.menurut Ibnu Shalah, karena al-Ghazali dari golongan ahlussunnah, maka pikiran-pikiran dari bukunya yang berlawana dari aliran ini di anggap bukan dari al-Ghazali, seperti Madhnun 'Ala Ghairi ahlihi.
Menuruat Dr. Zaki Mubarakdalam bukunya al-Akhlaqin al-Ghazali, perbedaan pendapat tersebut karena perkembangan pikiran al-Ghazali, mulai dari seorang murid biasa, kemudian menjadi murid yang cemerlang namanya , meningkat menjadi guru yang tenar. Akhirnya menjadi kritikus yang kuat dan menguasai dan menyingkap bermacam-macam pendapat, kemudian menjadi pengarang besar yang membanjiri dunia dengan pembahasan-pembahasan dan buku-bukunya.
Karya karya al-Ghazali tidak diperuntukkan kepada masyarakat secara umum, tetapi ada klasifikasinya. Ada yang diperuntukkan kepada orang-orang ahli tasawuf dan ada pula kepada pencinta etika, oleh karena itu karya-karyanya ada yang berbeda antara yang stu dengan yang lainnya.

C.    Pemikiran al-Ghazali
Filsafat al-Ghazali dapat tergambarkan dari masa hidup al-Ghazali yang pada saat itu berbagai macam aliran agama dan filsafat tumbuh subur. Sebagaimana ia katakan bahwa: “…sumber kekufuran manusia pada saat itu adalah terpukau dengan nama-nama filsuf besar seperti Socrates, Epucurus, Plato, Aristoteles dan lain-lain, mereka mendengar prilaku pengikut filsuf dan kesesatannya dalam menjelaskan intelektualitas dan kebaikan-kebaikan prinsipnya, ketelitian ilmu para filsuf dibidang geometri, logika, ilmu alam dan teologi, mereka juga mendengar bahwa para filsuf itu mengingkari semua syariat dan agama, tidak percaya pada dimensi-dimensi agama. Para filsuf  meyakini bahwa agama adalah ajaran-ajaran yang disusun rapi dan tipu daya yang dihiasi keindahan.”
Menurut al-Ghazali, secara teoretis, akal dan syara’ tidak bertentangan secara hakiki, karena semuanya adalah petunjuk dari Allah SWT. Demikian juga, ditinjau dari segi praktis, tidak ada hakikat agama yang bertentangan dengan hakikat ilmiah. al-Ghazali melihat bahwa satu sama lainnya saling mendukung dan membenarkan. Dalam kitabnya, Ihya’ Ulum ad-Din,ia menjelaskan hubungan akal dan syara’ lebih rinci lagi. Ia menyeru penggabungan ilmu-ilmu akal dengan ilmu-ilmu agama bahwa: “…Bodoh orang yang menyeru untuk sekadar taklid saja dan mengesampingkan akal secara total. Tertipulah seorang yang mencukupkan dirinya dengan akal saja dan mengabaikan cahaya al-Qur’an dan as-Sunnah. Anda jangan termasuk kedalam kedua kelompok tadi, tetapi jadilah yang menggabungkan antara akal dan cahaya syara’. Ilmu-ilmu akal bagaikan makanan, sedangkan ilmu-ilmu syara’ bagaikan obatnya…...”[7]
Menurut al-Ghazali, “Akal bagaikan penglihatan sehat, sedangkan al-Qur'an bagaiakn matahari yang menebarkan sinarnya. Satu sama lain saling membutuhkan, kecuali orang yang bodoh, yakni orang yang mengabaikan akal dan mencukupkan diri dengan al-Qur’an mereka bagaikan orang yang melihat cahaya matahari dengan menutup kelopak mata. Tidak ada bedanya orang seperti ini dengan orang buta”. Dengan demikian merurut al-Ghazali, akal tidak mungkin menetapkan suatu kebenaran yang dinafikan syara’ dan syara’ tidak akan membawa suatu keyakinan yang tidak dapat diterima oleh akal.
Al-Ghazali berpendapat bahwa tugas akal adalah untuk membenarkan syara’ lewat penetapan Pencipta alam, dan Kenabian yang diberikan kepada hamba yang dipilih-Nya. Dalam muqaddimah kiitab al-Musthafa, ia mengatakan bahwa  “ilmu paling mulia adalah ilmu yang menggabungkan akal dan naql, menyertakan pendapat dan syara’. Ilmu fiqh dan ushul fiqh adalah ilmu-ilmu macam ini karena mengambil syara’ dan akal yan bersih secara bersama.” Akan tetapi, al-Ghazali melihat dalam bidang amaliah ini ada bidang yang haram dimasuki akal, yaitu mengetahui hukum terinci dari ibadat-ibadat syari’ah. Al-Ghazali melihat hokum-hukum ibadah ini, aturan dan kadarnya telah ditentukan oleh Nabi. Maksudnya, akal tidak dapat memahami mengapa sujud dalam shalat jumlahnya dua kali lipat ruku’, shalat shubuh rakkaatnya separuh shalat ashar, dan seterusnya. Hal ini merupakan wilayah cahaya kenabian (nur nubuwwat), meminjam istilah yusuf Qardhawi, “bukan dengan instrument akal.”[8]
Dari uraian diatas, tampak bahwa ilmu logika (akal), menurut al-Ghazali, merupakan instrument untuk memahami dalil-dalil syariat. Akan tetapi, akal atau berfilsafat yang tahu akan batasnya dan tidak menghalangi dirinya untuk mendapat nur yang lebih besar, yaitu nur wahyu ilahi, meminjam istilah Yusuf Qardhawi. Dengan kata lain, akal atau berfilsafat membenarkan hukum secara pasti, atau paling tidak, menurut Juhana S. Praja, bahwa berfilsafat adalah berfikir secara mendalam tentang sesuatu; menetahui apa (mahiyah), bagaimana dan nilai-nilaidari sesuatu itu.
 
D.    Filsafat al-Ghozali
Apabila mengulas beberapa buku al-Ghazali, maka kita dapat merasakan bahwa betapa besar andilnya dalam membenarkan Islam yang berbeda dengan pemikiran para filosof maupun teolog. Mungkin al-Ghozali sendiri tidak rela apabila dikategorikan sebagai seorang filosof Islam, karena ia menyerang habis-habisan, bahkan mengatakan kufur pada filsafat dan para pemukanya. Namun dalam kenyataannya ia seorang filosof besar.
Al-Ghazali menyerang kaum filosof dalam kitabnya Tahafut al-Falasifah, karena mereka berlebihan dalam menggunakan akal, dan menetapkan sesuatu tanpa bukti atas nama akal, disamping tidak ada dalil-dalil syara’ yang menafikannya. Bahkan, dalam kitab Al-Munqidz min Adh-Dhalal dijelaskan bahwa orang yang mengingkari pendapat para filosof dalam hal gerhana bulan dan matahari, dengan mengatasnamakan agama, dan mengingkari hal-hal yang berkaitan dengan ilmu pasti yang dianggap sebagai cabang filsafat lama, pada hal semua berdasarkan pada dalil-dalil yang meyakinkannya, dan tidak ada jalan untuk mengingkarinya.
Uraian tentang hal itu, dijelaskan oleh al-Ghazali dalam kitabnya al-Mustashfa, bahwa Wujudullah, Qudrat, Iradat, dan Ilmu-Nya dapat ditetapkan oleh akal. Apa yang tidak dapat ditetapkan oleh akal tidak dapat ditetapkan oleh syara’. Demikian juga masalah penciptaan alam dan pengutusan Rasul termasuk sifat Jaiz bagi Allah SWT. Allah berkuasa berbuat demikian dan membuktikan kebenaran para Rasul dengan mu’jizat karena Allah tidak akan menyesatkan hamba-hamba-Nya.[9]
Al-Ghazali memandang filsafat itu terbagi menjadi enam bagian: “Ilmu logika, Ilmu pasti, Ilmu alam, Ilmu ketuhanan, Ilmu politik dan Ilmu Akhlak”. Al-Ghazali tidak menghantam semua cabang filsafat kecuali filsafat ketuhanan (metafisika), dimana para filosof amat mengagungkan peranan akal yang mengalahkan agama dan syariat.
1.      Filsafat metafisika
Di dalam pemikiran filsafat al-Ghazali terdapat empat unsur pemikiran filsafat  yang mempengaruhi. Keempat unsur tersebut sebenarnya merupakan hal-hal yang ditentang oleh al-Ghazali, yaitu:
a.       Unsur pemikiran kaum mutakallimin.
b.      Unsur pemikiran kaum filsafat.
c.       Unsur pemikiran kaum batiniah.
d.      Unsur pemikiran kaum sufi.
Menurut al-Ghazali terdapat beberapa filosuf yang dipandang tersebut antara lain: Tuhan tidak memiliki sifat; Tuhan tidak memiliki substansi dan Tuhan tidak memiliki hakikat; Tuhan tidak dapat diberi sifat; planet-planet adalah biuntang yang bergerak dengan kemauan; hukum alam tak dapat berubah; dan jiwa planet-planet mengetahui semua.[10]
Al-Ghazali menentang pendapat-pendapat filsafat Yunani, di antaranya juga Ibnu Sina dan filosof Islam lainnya dalam dua puluh masalah. Di antaranya yang terpenting adalah:
v Al-Ghazali menyerang dalil-dalil filsafat (Aristoteles) tentang azalinya alam dan dunia. Al-Ghazali berpendapat bahwa alam (dunia) berasal dari tidak ada menjadi ada sebab diciptakan oleh Tuhan.
v Al-Ghazali menyerang kaum filsafat (Aristoteles) tentang pastinya keabadian alam itu terserah pada Tuhan semata-mata. Mungkin alam itu terus menerus tanpa akhir andaikata Tuhan menghendakinya. Akan tetapi, bukanlah suatu kepastian harus ada keabadian alam disebabkan oleh dirinya sendiri di luar Iradah Tuhan.
v Al-Ghazali menyerang pendapat kaum filosof bahwa Tuhan hanya mengetahui soal-soal yang besar saja, tetapi tidak mengetahui soal-soal yang kecil (Juz’iyah).
v Al-Ghazali juga menetang pendapat filosof bahwa segala sesuatu terjadi dengan kepastian hukum sebab dan akibat semata-mata, dan mustahil ada penyelewengan dari hukum itu. bagi al-Ghazali segala peristiwa yang serupa dengan hukum sebab dan akibat itu hanyalah kebiasaan (adat) semata-mata, bukan hukum kepastian. Dalam hal ini al-Ghazali jelas menyokong pendapat Ijraul-‘adat dari Al-Asy’ari.[11]
Tiga pemikiran filsafat metafisika yang menurut al-Ghazali sangat berlawanan dengan islam, dan yang oleh karenanya para filosuf harus dinyatakan sebagai orang ateis ialah: (1) Qodimnya alam, (2) tidak mengetahuinya Tuhan terhadap soal-soal peristiwa kecil; (3) pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.
Menurut al-Ghazali Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang terdiri dari jiwa dan jasad. Jiwa yang menjadi inti hakikat manusia adalah makhluk spiritual Rabbani yang sangat halus. Istilah-istilah yang digunakan al-Ghazali dalm masalah itu adalah: qalb, ruh, nafs dan ‘aql.
Jiwa menurut al-Ghazali adalah suatu zat yang (jauharul) dan bukan suatu keadaan atau aksiden (‘ardh), sehingga ia ada pada dirinya sendiri. Jasadlah yang adanya bergantung pada jiwa dan bukan sebaliknya. Jiwa berada di alam spiritual, sedangkan jasad berada di alam materi. Jiwa menurut al-Ghazali berasal sam dengan malaikat. Asal dan sifatnya illahiyyah, Tidak berawal dengan waktu seperti menurut plato dan filosuf lainnya. Tiap jiwa pribadi diciptakan Tuhan di alam atas (alam Arwah), pada saat benih manusia memasuki rahim, dan jiwa lalu dihubangkan dengan jasad. Setelah kematian, jasad akan musnah, tetapi jiwa tetap hidup dan tidak terpengaruh dengan kematian tersebut.
Bagi al-Ghazali, jiwa yang jiwa yangf berasal dari Tuhan mempunyai potensi kodrat, yaitu kecenderungan pada kebaikan dan keengganan pada kekejian. Pada waktu lahir, manusia merupakan zat yang bersih dan murni dengan esensi malaikat. Sedangkan jasad berasal dari alam al-khalaq. Oleh karena itu, kecenderungan jiwa pada kejahatan yang timbul setelah lahirnya nafsu sangat bertentangan dengan tabiat aslinya. Oleh karena itu, jiwa rindu akan alam atas dan ingin mendampingi para malaikat.
Mengenai kekekalan jiwa yang problematik itu, Al-Ghazali menegaskan bahwa Tuhan sesungguhnya dapat menghancurkan jiwa, tetapi Dia tidak melakukannya. Disini, al-Ghazali berada di persimpangan sebagai Mutakallimin (kemungkinan munculnya jiwa apabila dikehendaki Tuhan), dan pandangan sebagai filosuf (jiwa mempunyai sifat substansial kekal). Dengan demikian, bantahan al-Ghazali dalam bukunya Tahafut al-Falasifah, bukan ditekankan pada kekekalan jiwa, yang dibantahnya adalah dalil-dalil rasional yang digunakan para filosuf untuk membuktuikan kekekalan jiwa itu.
Adapun hubungan jiwa dan jasad dari segi pandangan moral adalah setiap jiwa diberi jasad, sehingga dengan bantuannya, jiwa dapat memperoleh bekal. Jiwa merupakn inti hakiki manusia dan jasad adalah alat baginya untuk mencari bekal dan kesempurnaan, karena jasad sangat diperlukan oleh jiwa maka ia harus dirawat dengan baik.[12]
2.      Qodimnya alam
Bagi al-Ghazali, bila alam itu dikatakan qadim (tidak bermula: tidak pernah tidak ada) maka mustahil dapat dibayangkan bahwa alam itu diciptakan oleh Tuhan. Jadi, paham qadim-nya alam membawa pada kesimpulan bahwa alam itu ada dengan sendirinya. Tidak dicitakan Tuhan dan ini berarti bertentangan dengan ajaran al-Qur’an yang jelas menyatakan bahwa Tuhanlah yang menciptakan segenab alam. Bagi al-Ghazali, alam haruslah tidak qadim dan ini berarti pada awalnya Tuhan ada, sedangkan alam tidak ada, kemudian Tuhan menciptakan alam maka alam ada di samping adanya Tuhan.
   Sebaliknya, bagi para filsuf muslim, seperti al-Farabi dan Ibnu Sina, paham bahwa alam itu qadim sedikit pun tidak dipahami mereka sebagai alam yang datang dengan sendirinya. Alam itu qadim justru karena Tuhan menciptakannya sejak zaman azali. Bagi mereka, mustahil Tuhan ada sendiri tanpa mencipta pada awalnya, kemudian baru menciptakan alam. Gambaran  bahwa pada awalnya Tuhan tidak mencipta, kemudian baru menciptakan alam, menurut mereka, menunjukkan berubahnya Tuhan. Tuhan, menurut mereka, mustahil berubah, dan oleh sebab itu, mustahil pula Tuhan berubah daipada awalnya tidak atau belum mencipta, kemudian mencipta.
   Kerangka filosofis yang ditawarkan oleh al-Ghazali adalah titik tolak yang benar dan ortodoks harus diawali dengan mengakui bahwa Tuhan sebagai Wujud tertinggi dan Kehendak unik yang bertindak secara aktual. “Prinsip pertama adalah Maha Mengetahui, Maha Perkasa, Maha Berkehendak. Ia bertindak sekehendak-Nya dan menentukan sesuatu yang Ia kehendaki. Ia menciptakan semua makhluk dan alam sebagaimana ia kehendaki dan dan dalam bentuk yang Ia kehendaki”. Dengan landasan berfikir  inilah sehingga Al-Ghazali mengatakan bahwa alam itu tidak qodim dan Tuhan yang qodim.[13]
Al-Ghazali sangat menekankan kehendak Tuhan, suatu sifat yang mentranformasikan diri dalam potensi dan aktualitas tindakan. Meskipun demikian, salah jika menganggap al-Ghazali menolak secara mutlak keberadaan kausalitas alamiah. Menolak fakta bahwa api membakar kapas adalah sangat bodoh. Yang ditolak al-Ghazali adalah keberadaan hubungan yang niscaya antara sebab dan akibat yang terlepas dari kehendak Tuhan yang nenciptakan hakikat membakar. Jika dunia yang mungkin adalah dunia tempat segala kemungkinan, al-Ghazali mengklaim bahwa kemungkinan ini hanyalah area tindakan bebas Tuhan.
Al-Ghazali menolak konsepsi filosofis yang mengatakan bahwa dunia ini kekal dan diciptakan lewat proses emanasi dengan bahan dasar yang brsifat kekal dan yang secara terus-menerus mengambil bentukya yang berbeda. Dia menerima pendapat bahwa dunia diciptakan oleh Tuhan dari benar-benar tiada, pada waktu yang lalu secara terbatas. Sebaliknya, menurut filosofis ajaran Aristoteles yang dianut pula oleh Ibnu Rusyd, setiap perubahan yang terjadi harus ditentukan oleh suatu sebab yang berada di luar dirinya. Dengan demikian, besar kemungkinan, jika Tuhan menginginkan suatu perubahan terjadi, beberapa sebab yang datang dari luar dirinya harus ikut mengatur atau menuntunya ke arah terwujudnya keputusan itu.
Seandainya alam semesta ini dalam jumlah keseluruhannya ada, dan lagi bukan ada untuk seterusnya, hal ini akan menimbulkan kesulitan. Hal itu berarti tidak akan ada sesuatu diluar benak pikiran Tuhan yang dapat mempengaruhinya dalam membuat keputusan tentang keberadaan dunia, lantaran tidak ada sesuatu apa pun yang ada, kecuali hanya Tuhan. Dari paparan  itu al-Ghazali memberi ulasan bahwasannya Tuhan dengan mudah mewasiatkan secara abadi agar dunia tercipta pada waktu tertentu pada masa mendatang, jika Dia menginginkan begitu.
3.      Iradat Tuhan
Mengenai kejadian alam dan dunia, al-Ghazali berpendapat bahwa dunia ini berasal dari iradat (kemauan) Tuhan semata-mata, tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat Tuhan itulah yang diartikan dengan penciptaan. Iradat itu menghasilkan ciptaan yang berganda, disatu pihak merupakan zarah-zarah (atom-atom) yang masih abstrak.
Penyesuaian yang kongkrit antara zarah-zarah abstrak dengan undang-undang itulah yang merupakan dunia dan kebiasaannya yang kita lihat ini. Iradat Tuhan itu sendiri adalah mutlak, bebas dari ikatan waktu dan ruang, tetapi dunia yang diciptakaan itu seperti yang dapat ditangkap dan dikesankan pada akal manusia, terbatas dalam pengertian ruang dan waktu, dan telah masuk kedalam pengertian materialis. Al-Ghazali menganggap bahwa Tuhan adalah transenden, tetapi kemauan atau iradat-Nya imanen di atas dunia ini, dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.[14]
4.      Paham bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat
Paham bahwa Tuhan tidak mengetahui juz’iyyat (hal yang juz’i/individual/ partikular) bukanlah paham yang dianut oleh filosuf Islam. Paham ini dianut oleh Aristroteles. Kendati demikian, Al-Ghazali berupaya menampilkan pandangan Ibnu Sina yang menyatakan bahwa Tuhan mengetahui segala sesuatu dengan pengetahuan kulli/umum, tidak masuk dalam kategori zaman, tidak berbeda pengetahuan-Nya karena berbedanya sesuatu itu pada zaman yang lalu, yang akan datang , dan sekarang. Meskipun demikian ia berpendapat bahwa tidaklah goib dari pengetahuan-Nya apa saja yang ada di langit dan di bumi kendati sekecil atom. Hanya saja, Dia mengetahui hal-hal yang juz’i/partikular dengan pengetahuan semacam pengetahuan kulli/umum. [15]
Setelah panjang lebar menjelaskan maksud pendapat Ibnu Sina itu, Al-Ghazali mempunyai kesimpulan bahwa maksud pendapat demikian adalah bahwa Tuhan sebenarnya tidak mengetahui hal-hal yang juz’i, seperti tidak mengetahui siapakah Muhammad bin Abdullah, Abu bakar Ash-shidiq, Umar Bin Khatab, dan sebagainya.  Benarkah demikian pendapat ibnu sina, atau benarkah demikian maksud pendapatnya tentang pengetahuan Tuhan mengenai hal-hal yang juz’i ? sebenarnya, pada pembicaraan tentang Ibnu Sina sudah jelas bahwa paham Ibnu Sina tentang pengetahuan Tuhan berkenaan dengan hal-hal juz’i tidak seperti yang disimpulkan oleh al-Ghazali. Bagi Ibnu Sina, Tuhan mengetahui hal-hal yang kulli, menurut kullinya, dan mengetahui hal-hal yang juz’i menurut juz’inya, tetapi pengetahuan Tuhan tidak seperti pengetahuan manusia. Bila pengetahuan manusia muncul setelah memperhatikan hal-hal juz’i yang terjadi sehingga pengetahuan manusia merupakan akibat, sedangkan hal-hal yang terjadi itu merupakan sebab bagi munculnya pengetahuan manusia. Dengan demikian, pengetahuan Tuhan Maha Suci dari cara mendapatkan seperti itu. Tuhan mengetahui hal-hal juz’i itu dengan pengetahuan yang tidak berubah.
Hal ini dapat dipahami seperti tidak berubahnya pengetahuan tentang sebab-sebab yang bersifat umum, atau dapat dipahami dengan pengertian bahwa Tuhan telah mengetahui hal-hal yang juz’i dengan pengetahuan yang azali dan tidak berubah, kendati hal yang juz’i itu terus menerus berubah, Tuhan mengetahui hal-hal yang juz’i itu bukan setelah hal-hal yang juz’i itu terjadi dan diperhatikan. Jadi, tidak benar bahwa para filosuf Muslim berpaham bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang juz’i yang muncul pada alam ciptaan-Nya, atau dengan kata lain tidak benar bahwa pemahaman para filosuf Muslim tentang pengetahuan Tuhan membawa pada pengertian bahwa Tuhan tidak mengetahui hal-hal yang bersifat juz’i.[16]
5.      Paham kebangkitan jasmani
   Menurut al-Ghazali, gambaran al-Qur’an dan al-Hadits Nabi SAW. tentang kehidupan diakhirat bukanlah mengacu pada kehidupan rohanisaja, akan tetapi ppada kehidupan yang bersifat jasmani dan rohani. Jasad dibangkitkan dan di satukan dengan jiwa-jiwa manusia yang pernah hidup didunia untuk merasakan nikmat surgawi yang bersifat rohani-jasmani dan merasakan azab neraka yang juga bersifat jasmani dan rohani, kehidupan disurga dan neraka yang bersifat jasmani rohani itu, menurut Ghazali bukanlah sesuatu yang mustahil. Oleh karena itu, gambaran al-Qur’an dan hadits Nabi SAW itu haruslah dipahami secara hakiki saja.
Pemahaman bahwa kehidupan di surga dan neraka bersifat rohani saja, menurut al-Ghazali adalah pemahaman yang mengingkari adanya kebangkitan jasad di hari akhirat. Pemahaman yang demikian adalah bertentangan dengan apa yang telah diajarkan dalam al-Qur’an dan hadits Nabi SAW dan karena itulah sebab dikufurkan. Al-Ghazali berpandangan bahwa yang akan diubangkitkan adalah jasmani. Ia berkata:
“….adalah bertentangan dengan seluruh keyakinan Muslim, keyakinan mereka yang mengatakan bahwa badan jasmani manusia tidak akan dibangkitkan pada hari kiamat, tetapi hanya jiwa yang terpisah dari badan yang akan diberi pahala dan hukuman, dan pahala atau hukuman itu akan bersifat spiritual dan bukanlah bersifat jasmaniah. Sesungguhnya, mereka itu benar di dalam menguatkan adanya pahala dan hukuman yang bersifat spiritual karena hal itu memang ada secara pasti; tetapi secara salah, mereka menolak adanya pahala dan hukuman yang bersifat jasmani dan mereka dikutuk oleh hukum yang telah diwahyukan dalm pandangan yang mereka nyatakan itu.”
Pemahaman secara hakiki, menurut akal adalah hal yang mustahil. Oleh karena itu, gambaran tersebut harus dipahami secara majazi. penggambarn Tuhan tentang alam kubur/akhirat secara jasmani/materi, mereka pahami sebagai upaya materealisasi terhadap hal-hal yang bersifat spiritual dan itu adalah upaya yang layak. Penggambaran yang seperti itu adalah bijaksana. [17]
                                            
6.      Pandangan tentang Etika
 Al-Ghazali juga membahas tentang etika yang dapat dilihat pada ajaran tasawufnya. Menurut Al-Ghazali orang sufi benar-benar berada di atas jalan yang benar. Berakhlak yang baik dan berpengetahuan yang benar. Mengenai tujuan pokok etika Al-Ghazali, kita temui pada semboyan tasawuf yang terkenal “At-takhluq bitakhalluq bi-akhlaqillahi ‘ala thaqatil basyariyyah” atau semboyannya yang lain “al-isyafu bi-shifatirrahmani ‘ala thaqatil basyariyyah
Maksud semboyan itu adalah agar manusia sejauh kesanggupannya meniru-niru perangai serta sifat-sifat ketuhanan seperti pengasih, penyayang, pengampun/pemaaf, dan sifat-sifat yang disukai Tuhan seperti sabar, jujur, taqwa, zuhud, ikhlas, dan sifat-sifat terpuji lainnya. Dalam kitabnya ihya’ ulumuddin Al-Ghazali mengulas rahasia-rahasia ibadat dari tasawuf dengan mendalam sekali.[18]
Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali menganggap Tuhan sebagai pencipta yang aktif berkuasa, yang sangat memelihara dan menyebarkan rahmat bagi seluruh alam. Dalam hal ini, ia sama sekali tidak cocok dengan prinsip filsafat klasik Yunani yang menganggap Tuhan sebagai kebaikan yang tertinggi, tetapi pasif menanti, hanya menunggu pendekatan diri dari manusia dan menganggap materi sebagai pangkal keburukan sama sekali. Sesuai dengan prinsip Islam, Al-Ghazali mengakui bahwa kebaikan tersebar dimana-mana, juga dalam materi. Hanya saja mengenai pemakaiannya yang disederhanakan, yaitu kurangi nafsu dan jangan berlebihan memakainya.
Al-Ghazali memberikan beberapa cara latihan yang langsung mempengaruhi rohani. Diantaranya yang terpenting adalah muraqobbah, yakni merasa diawasi terus oleh Tuhan, dan almuhasabah, yakni senantiasa mengoreksi diri sendiri. Menurut Al-Ghazali kebahagiaan itu ada dua tingkatan, yaitu kepuasan dan kebahagiaan. Kepuasan adalah apabila kita mengetahui kebenaran sesuatu, bertambah banyak mengetahui kebenaran itu berarti bertambah banyak merasakan kebahagiaan.
Akhirnya kebahagiaan yang tertinggi adalah mengetahui kebenaran sumber dari segala kebahagiaan itu. Itulah yang dinamakn ma’rifatullah, yaitu mengenal adanya Allah tanpa adanya keraguan dan dengan penyaksian hati yang sangat yakin.[19]

















BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
            Al-Ghazali memiliki nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad at-Thusi al Ghazali. Beliau lahir pada tahun 1058 M/450 H di kota Ghazalah, sebuah kota kecil dekat Thus di Khurasan, yang pada saat itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan di dunia Islam. dan beliau  meninggal di  kota Thus pada tahun 1111 M/ 14 Jumadil Akhir 505 H pada umur 52–53 tahun.
            Al-Ghazali adalah salah seorang ulama dan pemikir dalam dunia Islam yang sangat produktif dalam menulis. Dalam masa hidupnya, baik ketika menjadi pembesar negara di Mu’askar maupun ketika menjadi profesor di Baghdad, baik sewaktu skeptis di Naisaburi maupun setelah berada dalam perjalanan mencari kebenaran dari apa yang dimilikinya, dan sampai akhir hayatnya, Al-Ghazali terus berusaha menulis dan mengarang. Kitabnya yang terkenal yaitu Ihya Ulumuddin.
Mengenai karangan al-Ghazali ini, ada penentangan dari kalangan fuqaha dan tasawuf, diantaranya adalah Ibnu Rusyd, hal ini adalah dikarenakan penentanga al-Ghazali terhadap para filosuf Islam, bahkan ia sampai mengkafirkan dalam tiga hal, yaitu:
1.      Penginkaran terhadap kebangkitan jasmani.
2.      Membatasi pengetahuan Tuhan kepada hal-hal yang besar saja.
3.      Adanya kepercayaan tentang qadimnya alam dan keasliannya.

B.   Saran
            Mempelajari filsafat bukanlah sesuatu yang bisa dianggap mudah, apalagi hanya dengan mempelajari sekilas saja, tentu tidaklah banyak hal yang dapat kita petik. Begitu juga mempelajari filsafat al-Ghazali, karena kita tahu banyak sekali kitab-kitab karya al-Ghazali yang berisikan tentang kritikan dan penentangan terhadap para filosuf.



DAFTAR PUSTAKA

D. Sirojuddin, 2003. Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve.
Supriyadi, Dedi, 2009. pengantar filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Musthofa, 2009. Filsafat Islam, Bandung: Pustaka Setia.
Smith, Margareth, 2000. pemikiran dan doktrin mistis Imam al-Ghazali, Jakarta: Riora cipta.
Sudarsono, 2004.  filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta.



[1] D. Sirojuddin Ar, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2003), h. 25.
[2] Margareth Smith, pemikiran dan doktrin mistis Imam al-Ghazali, (Jakarta: Riora cipta, 2000), h. 2
[3] Dedi Supriyadi, pengantar filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 146
[4] Ibid, h.
[5] Musthofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 220
[6] Ibid.,h. 221
[7] Dedi Supriyadi, pengantar filsafat Islam,h. 156
[8]Ibid, h. 158
[9] Dedi Supriyadi, pengantar filsafat Islam,h. 157
[10] Sudarsono, filsafat Islam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), h. 70
[11] Musthofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 228
[12] Dedi Supriyadi, pengantar filsafat Islam,h. 174
[13] Dedi Supriyadi, pengantar filsafat Ilmu,h. 162
[14] Musthofa, Filsafat Islam, h. 229
[15] Dedi Supriyadi, pengantar filsafat Ilmu,h. 170
[16] Ibid.,h. 171
[17] Ibid., h. 173
[18] Sudarsono, filsafat Islam, h. 71
[19] Musthofa, Filsafat Islam, h. 241v

Tidak ada komentar:

Posting Komentar