Senin, 20 Desember 2010

hadits mustaraq

HADITS MUSYTAROK ANTARA SAHIH, HASAN DAN DLA’IF

A.     DEFINISI
Hadits musytarak adalah hadits yang bersetatus banyak. Untuk menentukan apakah sahih, hasan ataupun dha’if diperlukan penelitian lebih lanjut. Status kehujahan hadits musytarak juga masih belum dipastikan.[1]

B.     PEMBAGIANNYA
Mahmud ath-Thahan membagi hadits musytarak menjadi dua:[2]
1.      Ditinnjau dari segi kepada siapa hadits itu disandarkan di bagi menjadi empat, yaitu:
a.       Hadits Qudsi,
yaitu hadits yang disampaikan kepada kita dari Nabi Muhammd dan Nabi menyandarkannya kepada Allah SWT. Dengan kata lain hadits yang lafalnya dari Nabi SAW sedangkan maknanya dari Allah SWT yang didapat melalui ilham atau mimpi.
Perbedaaan antara hadits Qudsi dan Al-Qur’an:[3]
1)      Al-Qur’an lafadz dan maknanya dari Allah, sedangkan hadits Qudsi maknanya saja yang dari Allah sedang lafadnya dari Rasulullah SAW.
2)      Seluruh isi Al-Qur’an dinukil secara mutawatir sehingga kepastinya mutlak, sedang hadits Qudsi kebanyakan khabar ahad sehingga kepastianya masih dzhan.
3)      Membaca Al-Qur’an merupakan ibadah sehingga dibaca dalam shalat,sedangkan hadits Qudsi tidak.
Perbedaan hadits Qudsi dengan hadits Nabawi adalah biasanya hadits Qudsi dalam meriwayatkannya ditambah dengan:
1. قال رسول الله صلى الله عليه وسلم فيما يرويه عن ربه
2. قال(يقول) الله فيما رواه عنه رسول الله صلى الله عليه وسلم
3. Lafad-lafad lain yang semakna dengan apa yang disebut di atas. Sedangkan meriwayatkan hadits Nabawy tidak ada ketentuan tersebut.
b.      Hadits Marfu’,
yaitu hadits yang disandarkan pada shahabat atau yang lainya kepada Nabi SAW berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir, muttasil maupun munqathi’. Contoh: “Saya mendengar Rasulullah saw bersabda….
c.       Hadits Mauquf  
yaitu sesuatu (hadits) yang disandarkan kepada sahabat berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir, muttasil maupun munqathi’ sanadnya. Contoh hadits mauquf: Seorang perawi mengatakan,”Ali bin Abi Thalib berkata begini….”. Hadits mauquf tidak bisa dijadikan hujjah karena berupa perkataan, perbuatan atau taqriri sahabat.
d.      Hadits maqtu’ yaitu hadits yang disandarkan kepada Tabi’in atau orang sesudahnya, baik berupa perkataan maupun perbuatan. Hadits maqtu’ berbeda dengan hadits munqathi’ karena hadits maqtu’ adalah tinjauan dari segi matan, sedangkan hadits munqathi’ tinjauan dari segi sanad. Mengenai status hukumnya, hadits maqtu’ tidak dapat dijadikan hujjah dalam hal hokum syar’i walaupun ia shahih, sebab itu adalah perkataan seorang muslim saja. Tetapi jika ada qarinah yang menunjukkan kemarfu’annya seperti pendapat sebagian perawi tentang tabi’in yang berkata: “Sami’tu Rasulallah”, maka dapat dihukumi marfu’ mursal.
2.      Jenis-jenis lain yang berada di antara status maqbul dan mardud, di antaranya adalah:[4]
a.       Hadits muttasil atau hadits maushul
yaitu hadits yang sanadnya bersambung baik marfu’ sampai pada Nabi maupun mauquf hanya sampai sahabat. Contoh hadits muttasil marfu’: “Malik dari Ibnu Shihab dari Salim bin Abdullah dari ayahnya dari Rasulallah, beliau bersabda: begini, begini….”, contoh hadits muttasil mauquf: “Malik dari Nafi’ dari Ibnu Umar dia berkata: begini, begini….” Kalau sanadnya muttasil sampai tabi’in disebut maqtu’.
b.      Hadits musnad
yaitu hadits yang sanadnya bersambung dan marfu’ sampai kepada Nabi saw. Bedanya dengan hadits marfu’ dan muttasil. Hadits marfu’ belum tentu muttasil demikian pula hadits muttasil belum tentu marfu’. Tapi kalau hadits musnad adalah hadits yang marfu’ sekaligus muttasil. Misalnya: “Dari Abdullah bin Yusuf dari Malik dari Abu Zanad dari al-A’raj dari Abu Hurairah ia berkata, Rasulullah saw bersabda: “Jika ada seekor anjing yang minum dari bejanamu maka cucilah bejanamu tujuh kali.”
c.       Hadits mu’an’an
 yaitu hadits yang diriwayatkan oleh para perawi dengan menggunakan sighat ‘an. Ulama’ berbeda pendapat dalam hadits ini, apakah termasuk hadits muttasil atau munqathi’:
1)      Sebagian mengatakan sebagai hadits munqathi’ sampai ada keterangan yang menjelaskan ketersambungannya.
2)      Menurut jumhur ahli hadits, fiqh dan ushul fiqh dihukumi muttasil dengan syarat perawi yang menggunakan sighat ‘an bukan mudallis, dan antara perrawi yang mengatakan ‘an dengan perawi yang disandarinya dimungkinkan ada pertemuan.
d.      Hadits muannan
yaitu hadits yang dalam sanadnya mengandung sighat ‘anna. Sebagian ulama berpendapat bahwa huruf ‘anna  menunjukkan keterputusan hubungan, kecuali bila terdapat bukti. Sebagian ulama ada yang menyamakan pengertian huruf ‘an, an dan qaala, yakni sama-sama harus diteliti dulu persambungan antar perawinya.



[1]Salamah Noorhidayati, Diktat Ulumul Hadits, STAIN Tulungagung, 2002, h. 94
[2]Mahmud At-Athahan, Taisir Musthalah Hadits, -: Darul Fikr, tt, h. 103
[3]M.Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadits, Bandung: Pustaka Setia, 2009, h.28-29
[4] Noorhidayati, Diktat Ulumul…, h. 97-99

Tidak ada komentar:

Posting Komentar