Senin, 20 Desember 2010

logika (kata dan term)

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
      Dalam kehidupan sehari-hari seseorang tidak lepas dari berkomunikasi dengan orang lain. Berbagai cara dilakukan orang untuk menjalin komunikasi satu dengan yang lain. Bagi orang yang normal komunikasi dilakukan dengan perkataan, sedangkan bagi orang yang tidak bisa berbicara, komunikasi dilakukan dengan memakai isyarat.
      Baik perkataan maupun isyarat merupakan bentuk lahir dari apa yang ada dalam pikiran seseorang. Melalui perkataan seseorang dapat mengungkapkan apa yang ia pikirkan dan apa yang ia kehendaki, sehingga orang lain dapat memahami apa yang ia maksud dan apa yang ia inginkan. Meskipun demikian, tidak semua apa yang ada dalam pikiran dapat diungkapkan dengan sempurna melalui kata-kata, karena tidak semua kata-kata dapat mewakili secara sempurna apa yang ada dalam pikiran seseorang.
      Dalam berbicara seseorang harus memikirkan isi dan luas cakupan kata-kata yang diungkapkan, sehingga orang lain dapat mengerti apa yang ia maksud dan apa yang ia kehendaki sesuai dengan apa yang ia pikirkan. Hal ini perlu dipahami agar tidak terjadi kesalahpahaman antara orang yang berbicara dan orang yang mendengarnya. Selain itu, kata-kata yang bersifat ambigu juga harus dihindari, dan sebisa mungkin menggunakan kata-kata yang sesuai dengan situasinya.

B.     Rumusan Masalah
1.    Perbedaan antara berfikir dan berbahasa
2.    Arti pengertian, kata dan term
3.    Batasan isi dan luas pengertian
4.    Pembagian kata menurut artinya
5.    Aturan penggolongan
6.    Pengertian dan pembagian definisi

C.    Tujuan Pembahasan
1.    Mengetahui perbedaan antara berfikir dan berbahasa
2.    Mengetahui arti pengertian, kata dan term
3.    Mengetahui isi dan luas pengertian
4.    Mengetahui pembagian kata menurut artinya
5.    Mengetahui penggolongan dan aturannya
6.    Mengetahui pengertian dan pembagian definisi

























BAB II
PEMBAHASAN

A.    Berpikir dan Bahasa
            Bila orang berbicara dengan memakai kata-kata, maka orang berpikir dengan menggunakan konsep atau pengertian-pengertian. Berpikir itu berlangsung di dalam batin, sehingga orang lain tidak dapat melihat apa yang dipikirkan oleh seseorang. Untuk memberitahukan apa yang dipikirkan kepada orang lain, seseorang harus menyatakan, mengungkapkan dan melahirkan isi pikirannya. Untuk menyatakan isi pikiran itu, ada berbagai jalan yang bisa ditempuh, yaitu dengan tanda, isyarat atau dengan kata-kata. Bahasa, baik lisan maupun tulis adalah alat untuk menyatakan isi pikiran. Meskipun demikian, isi pikiran tidak selalu dapat diungkapkan dengan sempurna.
            Jadi, antara pemikiran dan bahasa ada suatu hubungan timbal balik. Berpikir dengan jelas dan tepat menuntut pemakaian kata-kata yang tepat, sebaliknya pemakaian kata-kata yang tepat sangat menolong kita untuk berpikir dengan lurus. Bahasa adalah laksana alat pemikiran yang kalau sungguh kita kuasai dan kita pergunakan dengan tepat, sangat membantu untuk memperoleh kecakapan berpikir dengan lurus. Berpikir dengan lurus menuntut pemakaian kata-kata yang tepat.[1]
  
B.     Pengertian, Kata dan Term
            Untuk menyelidiki asas-asas pemikiran yang lurus, harus memahami pengertian-pengertian dan pernyataannya dalam kata-kata. Orang tidak dapat berbicara dengan baik kalau tidak mempunyai kata-kata, demikian pula orang tidak dapat berpikir dengan tepat tanpa pengertian-pengertian. Maka pekerjaan budi yang pertama ialah mencoba mendapatkan pengertian itu. Hal ini bisa dilakukan dengan mengerti suatu barang,[2] yaitu indera-indera menyerap barang-barang tertentu dan pikiran menangkap hakikat atau esensi mereka. Indera-indera dan pikiran saling membantu dalam pembentukan konsep-konsep atau pengertian.[3]
            Dengan mengerti sesuatu, akal budi membentuk suatu gambaran tentang barang yang dimengertinya itu. Tanggapan atau gambaran yang dibentuk oleh akal budi tentang kenyataan yang dimengertinya itu disebut pengertian atau konsep. Setelah akal membentuk pengertian, misalnya pengertian kucing, maka dengan pengertian itu seseorang dapat berpikir dan/atau berbicara tentang kucing, tanpa menunjukkan seekor kucing yang nyata, karena kucing itu seakan-akan telah berada di dalam budi, yaitu dengan perantaraan pengertian tentang kucing itu.
            Kata adalah tanda lahir yang menunjukkan baik barang-barang (kenyataan) maupun pengertian-pengertian kita tentang barang-barang (kenyataan itu). Kata tidak sama dengan pengertian, tetapi kata adalah ekspresi dan tanda pengertian, tetapi tanda yang tidak sempurna.[4]
            Untuk mengerti arti dari kata tertentu, salah satu hal yang perlu diperhatikan adalah tempat dan fungsi kata itu dalam suatu kalimat. Pemikiran kita tidak terdiri dari kata-kata atau pengertian-pengertian yang terlepas satu dari yang lain, kata-kata tersebut dihubung-hubungkan menjadi kalimat-kalimat sehingga membentuk sebuah arti. Term adalah bagian dari suatu kalimat yang berfungsi sebagai subyek atau predikat, sehingga dalam suatu kalimat terdapat dua term. Misalnya Tono itu nakal, maka Tono (=subyek) dan nakal (=predikat) adalah term-termnya, yang dihubungkan dengan kata “itu” sebagai kata penghubung[5].

C.    Isi dan Luas Pengertian
            Kalau hendak memikirkan atau membicarakan sesuatu, maka salah satu syaratnya ialah harus mengerti dengan jelas arti kata-kata yang dipakai, yakni mengerti apa yang dimaksudkan dengan kata tertentu itu, apa maknanya, apa isinya, dan barang apa atau berapa saja yang ditunjukkan dengan kata tertentu. Hal ini dalam logika dipelajari dengan menyelidiki dua segi, yaitu isi dan luas pengertian.
            Isi pengertian adalah semua unsur yang termuat di dalam pengertian itu. Seperti kata “pegawai negeri”, di dalamnya terkandung unsur seorang manusia-yang mempunyai pekerjaan tertentu-tidak secara kebetulan saja, melainkan sebagai jabatan yang tetap-yang gajinya dibayar oleh pemerintah-diangkat oleh pemerintah, berdasar surat keputusan.
            Dalam bahasa Indonesia, tidak semua kata-kata terikat erat dengan barang-barang yang konkret, bahkan suatu kata biasanya sukar diterangkan dengan menunjukkan pada hal-hal yang langsung kita alami atau kita lihat sendiri, kata-kata seperti itu disebut kata abstrak. Sebagai solusi, untuk menerangkan kata-kata tersebut digunakanlah definisi.
            Berdasarkan pengetahuan keinderaan, akal budi membentuk pengertian-pengertiannya. Pengertian-pengertian akal budi itu ternyata lebih luas atau lebih umum dari barang-barang konkret yang dilihat. Melihat seekor kerbau tertentu yang kelabu, besar dan gemuk kita berikan pengertian kerbau, yang juga berlaku untuk kerbau-kerbau yang kurus dan kecil. Dengan demikian, setiap pengertian mempunyai lingkup atau lingkungannya sendiri. Lingkungan itu berisikan semua barang atau hal yang dapat ditunjuk atau disebut dengan pengertian atau kata itu.
Jadi, luas pengertian adalah barang-barang atau lingkungan realitas yang ditunjuk dengan pengertian atau kata tertentu. Makin umum suatu pengertian, makin sedikit isinya, makin luas lingkungannya. Makin sempit suatu pengertian, makin banyak isinya (makin mendekati kenyataan yang konkret), makin sempit atau terbatas pula luasnya.
Suatu pengertian atau kata tertentu baru mendapatkan arti tertentu di dalam sebuah kalimat tertentu. Demikian juga dengan luas pengertian, sebab kata-kata yang sama dapat menunjukkan jumlah bawahan yang berlainan dalam kalimat yang berbeda. Untuk menunjukkan luas term, maka dalam logika dipakai istilah-istilah sebagai berikut :
1.      Singular : dengan tegas menunjukkan satu individu atau barang tertentu, misal; nama diri, barang yang ditunjuk dengan khusus seperti "pohon itu".
2.      Partikular : menunjukkan hanya sebagian dari seluruh luasnya, misal; beberapa, kebanyakan, ada yang dan orang-orang.
3.      Universal : menunjukkan seluruh lingkungannya dan masing-masing bawahannya, tidak ada yang dikecualikan, misal; setiap orang, manusia adalah makhluk sosial dan besi itu logam[6].
            Hal yang perlu diperhatikan adalah tentang penggunaan dan penyebutan. Tanpa pembedaan tersebut kata apapun dapat dianggap sebagai term, padahal tidak demikian. Misalnya kata “ke mana pun” bukanlah suatu term. Tetapi kata tersebut dapat berfungsi sebagai subyek dalam tanda kutip dari suatu pernyataan, seperti ke mana pun adalah suatu kata yang terdiri dari Sembilan huruf. Dalam pernyataan ini, bukan kata ke mana pun itu sendiri yang menjadi subyek, tetapi lebih sebagai kata yang dikutip. Kata ke mana pun itu disebut, bukan digunakan. Di lain pihak, kata ke mana pun digunakan dalam pernyataan; saya akan mengikuti engkau ke mana pun engkau pergi.
            Dalam membedakan term dari nonterm, haruslah meyakini bahwa suatu kata atau grup kata itu dapat dipakai sebagai subyek dari suatu pernyataan.[7]

D.    Pembagian Kata Menurut Artinya
Hal ini perlu diketahui karena berhubungan dengan penggunaan kata yang bersangkutan dalam konteks tertentu. Menurut artinya, kata dapat dibedakan menjadi :
1.      Univokal (sama bentuknya, sama artinya) ialah kata yang dapat dikatakan tentang barang banyak (bawahanya) dengan arti yang persis sama, misal; Budi itu manusia, Rudi itu manusia. Di sini manusia dipakai dalam arti yang sama.
2.      Ekuivokal (sama bentuknya, lain artinya) ialah kata yang sama, tetapi artinya sama sekali berlainan.
3.      Analogis (sama bentuknya, sedangkan artinya ada persamaan da ada perbedaan) ialah kata yang mempunyai arti yang tidak sama persis (ada perbedaan), tetapi juga tidak sama sekali berlainan (ada persamaan), misal; orang kuat-obat kuat.[8]

E.     Penggolongan
Penggolongan ialah pekerjaan budi untuk menganalisis, membagi dan  menyusun pengertian-pengertian dan barang-barang menurut persamaan dan perbedaannya. Penggolongan harus lengkap, sungguh-sungguh memisahkan, menurut dasar atau garis yang sama dan cocok untuk tujuan yang hendak dicapai.[9]

F.     Definisi
Menurut arti kata, definisi berarti pembatasan. Definisi berasal dari bahasa latin definitio, yang berarti pembatasan.[10] Maksudnya menentukan batas-batas pengertian tertentu sehingga jelas apa yang dimaksudkan, tidak kabur dan tidak dicampuradukkan dengan pengertian-pengertian lain.
Definisi yang baik harus merumuskan dengan jelas, lengkap dan singkat semua unsur pokok (isi) pengertian tertentu itu, yaitu unsur-unsur yang perlu dan cukup untuk mengetahui apa sebenarnya barang itu (tidak lebih dan tidak kurang), sehingga dengan jelas dapat dibedakan dari semua barang yang lain. Sebuah definisi harus memenuhi aturan-aturannya, yaitu :
1.    Dapat dibolak-balik dengan hal yang didefinisikan.
2.    Hal yang didefinisikan tidak boleh masuk ke dalam definisi.
3.    Definisi harus sungguh-sungguh menjelaskan.
4.    Definisi harus tepat perumusannya, tidak boleh lebih luas atau lebih sempit dari yang harus didefinisikan.
5.    Definisi tidak boleh memuat metafora.[11]  
Definisi dapat dibedakan ke dalam beberapa macam :
1.    Definisi stipulatif, yaitu menetapkan arti untuk suatu kata baru. Definisi ini mencakup penciptaan suatu kata baru atau pemberian suatu arti baru untuk suatu kata lama. Contoh ; hasil perkawinan antara seekor harimau jantan dengan seekor singa betina disebut tigon. Tujuan definisi ini adalah menggantikan ungkapan yang lebih kompleks dengan ungkapan yang lebih sederhana. Definisi stipulatif juga dipakai untuk menetapkan kode-kode atau sandi rahasia. Seperti sarutama adalah nama kode yang dipakai oleh polisi untuk operasi pemberantasan premanisme.[12]
2.    Definisi leksikal. Dipakai untuk melaporkan arti yang sudah dimiliki oleh suatu kata dalam suatu bahasa. Definisi ini mengeliminasi ambiguitas yang bisa muncul jika satu dari arti yang dimaksudkan dicampuradukkan dengan arti lain. Misalnya definisi-definisi yang terdapat dalam kamus.
3.    Definisi yang tepat. Tujuan definisi ini adalah untuk mengurangi ketidakjelasan arti suatu kata. Misal; kata miskin itu tidak jelas. Untuk menentukan siapa yang miskin secara tepat, diperlukan definisi yang tepat. Seperti di Amerika, miskin berarti memiliki pendapatan kurang dari $ 4.000 dan memiliki kekayaaan kurang dari $ 20.000.
4.    Definisi teoretis, yaitu menetapkan arti bagi suatu kata dengan mengusulkan suatu teori yang memberikan suatu ciri tertentu bagi suatu entitas yang ditunjuk oleh kata itu. Definisi ini memberikan cara untuk memandang atau mengerti suatu entitas dengan konsekuensi-konsekuensi deduktif, merangsang penelitian lebih jauh yang dihasilkan berdasarkan penerimaan suatu teori yang menentukan entitas-entitas itu. Misalnya panas berarti energi yang dihasilkan oleh gerakan-gerakan acak molekul-molekul suatu substansi.
5.    Definisi persuasif. Tujuan dari definisi ini adalah menggerakkan sikap mendukung atau tidak mendukung apa yang ditunjukkan oleh definiendum (kata atau grup kata yang didefinisikan).[13]






BAB III
PENUTUP

A.      Kesimpulan
     Pengertian adalah tanggapan atau gambaran yang dibentuk oleh akal budi tentang kenyataan yang dimengertinya. Kenyataan tersebut bisa diperoleh dengan indera yang menyerap barang-barang tertentu. Pengertian tersebut hanya dapat diketahui bila seseorang mengungkapkannya kepada orang lain melalui kata-kata atau bahasa yang disampaikan, meskipun tidak semua apa yang ada dalam pikiran dapat disampaikan dengan sempurna.

B.       Saran
     Dalam berbicara sebisa mungkin kita harus menghindari kata-kata yang dapat menimbulkan kesalahpahaman. Karena bermula dari kesalahpahaman dapat mengakibatkan adanya perbedaan bahkan pertentangan. Oleh karena itu, sebaiknya kata-kata yang kita ucapkan sebisa mungkin harus sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran kita, apalagi tidak semua kata dapat mewakili apa yang ada dalam pikiran kita. Pemilihan kata yang tidak ambigu dan sesuai dengan situasi merupakan jalan terbaik untuk menjalin keharmonisan dalam berkomunikasi.  














DAFTAR ISI

Poespoprojo, W., Gilarso, T.. 1999. Logika Ilmu Menalar. Bandung : Pustaka Grafika.
Maran, Rafael Raga. 2007. Pengantar Logika. Jakarta : Grasindo.




[1] W, Poespoprojo, T, Gilarso, Logika Ilmu Menalar, (Bandung : Pustaka Grafika, 1999), hlm. 49.
[2] Ibid, hlm. 50.
[3] Rafael Raga Maran, Pengantar Logika, (Jakarta, PT, Grasindo, 2007), hlm. 26.
[4] W, Poespoprojo, T, Gilarso, op. cit., hlm. 50.
[5] Ibid, hlm. 51.
[6] Ibid, hlm. 53-54.
[7] Rafael Raga Maran, op. cit., hlm. 28.
[8] W, Poespoprojo, T, Gilarso, op. cit., hlm. 55-56.
[9] Ibid, hlm 61.
[10] Rafael Raga Maran, op. cit., hlm. 35.
[11] W, Poespoprojo, T, Gilarso, op. cit., hlm. 66-71.
[12] Rafael Raga Maran, op. cit., hlm. 36.
[13] Ibid, hlm. 40.

perdebatan aliran ilmu kalam

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Persoalan kalam lain yang mejadi bahan perdebatan diantara aliran kalam adalah masalah perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Masalah ini muncul sebagai buntut dari perdebatan ulama’ kalam mengenai iman. Ketika sibuk menyoroti siapa yang masih dianggap beriman dan siapa yang kafir di antara pelaku tahkim, para ulama kalam kemudian mencari jawabah atas pertanyaan siapa sebenarnya yang mengeluarkan perbuatan manusia, apakan Allah sendiri? Atau manusia sendiri? Atau kerjasama antara keduanya.
Masalah ini kemudian memunculkan aliran kalan fatalis (predestination) yang diwakili oleh Qodariah dan free will yang diwakili Qodariah dan mu’tazilah, sedangkan aliran Asy’ariyah dan Maturidiah mengambil sikap pertengahan. Kemudian masalah ini meluas lagi dengan mempermasalahkan apakah Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban terttentu atau tidak? Apakah perbuatan tuhan itu tidak terbatas pada hal-hal yang baik-baik saja, ataukah perbuatan Tuhan itu terbatas pada hal yang baik-baik saja, tetapi juga mencakup pada hal-hal yang buruk?
Dari sinilah kita sebagai pemakalah akan berusaha untuk membahas masalah ini, dengan menyajikan pendapat dari beberapa aliran-aliran yang ada, sehingga kita dapat memilih aliran mana yang kita anggap benar menurut keyakinan kita.
B.     Rumusan Masalah
1.       Perbuatan Tuhan
2.      Perbuatan Manusia
C.    Tujuan Perumusan Masalah
1.      Mengetahui Perbuatan Tuhan
2.      Mengetahui Perbuatan Manusia







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Perbuatan Tuhan
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan disini dipandang dari segi konsekuensi logis dari dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya.
1.       Aliran mu'tazilah
Sebagai aliran yang bercorak rasional, Mu'tazilah berpendapat bahwa perbuatan Tuhan hanya terbatas pada hal-hal yang dikatakan baik. Namun hal ini tidak berarti bahwa Tuhan tidak dapat melakukan hal buruk. Tuhan tidak melekukan perbuatan buruk karena Tuhan mengetahui keburukan perbuatan itu. Di dalam al-qur'an juga dijelaskan bahwa Allah tidak akan berbuat zalim. Dengan dalil surat al-anbiya:23
Ÿw ã@t«ó¡ç $¬Hxå ã@yèøÿtƒ öNèdur šcqè=t«ó¡ç
Artinya: Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya dan merekalah yang akan ditanyai.
Dan surat ar-Rum:8
$¨B t,n=y{ ª!$# ÏNºuq»uK¡¡9$# uÚöF{$#ur $tBur !$yJåks]øŠt/ žwÎ) Èd,ysø9$$Î/
Artinya: Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar.
Qadi Abd Al-jabar, seorang tokoh mu'tazilah mengatakan bahwa ayat tersebut menjelaskan bahwa Tuhan hanya berbuat yang baik dan maha suci dari perbuatan buruk. Dengan demikian, Tuhan tidak perlu ditanya. Ia juga memberi permisalah bahwasanya apabila seseorang dikenal baik, dan secara nyata berbuat baik, maka tidak perlu ditanya mengapa ia melakukan perbuatan itu?. Dan ayat yang kedua mnjelaskan bahwa Tuhan tidak pernah dan tidak akan berbuat buruk, dan kalaulah Tuhan melakukan perbuatan buruk, maka pernyataan bahwa Ia telah menciptakan langit, bumi, dan isinya dengan haq, maka tentulah berita itu tidak benar atau bohong.[1]
Dasar pemikiran tersebut serta konsep keadilan Tuhan yang berjalan sejajar dengan faham adanya batasan-batasan bagi kekuasaan dan kehendak Tuhan, yang mendorong mu’tazilah bahwa Tuhan berkewajiban untuk berbuat baik bagi manusia. Faham keadilan berbuat baik mengonsekuensikan mu’tazilah memunculkan faham kewajiban Allah sebagai berikut:
a.    Kewajiban untuk tidak memberi beban diluar kemampuan manusia.
Dengan memberikan beban diluar kemampuan manusia adalah bertentangan dengan faham bahwa Allah berbuat baik dan terbaik.
b.    Kewajiban mengirimkan rasul bagi mu’tazilah.
 dengan kepercayaan bahwa akal dapat mengetahiu hal-hal ghaib, pengiriman rasul tidaklah begitu penting. Namun, mereka memasukkan pengiriman rasulkepada umat manusia menjadi salah satu kewajiban Tuhan.
c.    Kewajiban menepati janji (al-wa’du)  dan  ancaman (al-wa’id)
Janji dan ancaman merupakan salah satu dari lima dasar kepercayaan aliran mu’tazilah. Hal ini erat hubungannya dengan dasar keduanya yaitu keadilan. Tuhan akan bersifat tidak adil jika tidak menepati janji untuk memberi pahala kepada orang yang berbuat baik, dan menjalankan ancaman bagi orang yang berbuat jahat. Oleh karena itu menepati janji dan menjalankan ancaman adalah wajib bagi Tuhan.[2]
  1. Aliran Asy’ariyah
Menurut aliran asy’ariyah faham kepada Tuhan berbuat baik dan terbaik bagi manusia ( ash-shalah wa al-ashlah), sebagaimana dikatakan aliran mu’tazilah, tidak dapat diterima karenaa bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak mutlaq Tuhan. Sebagaimana dikatakan al-Ghazali, perbuatan-perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib dan tidak satupun dari-Nya yang mempunyai sifat wajib.[3]
Kaum asy’ariyah, sungguhpun pengiriman rasul-rasul dalam teologi mereka mempunyai arti penting menollak sifat wajibnya pengiriman demikian, karena hal itu bertentangan dengan keyakinan mereka bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap manusia. Paham ini dapat membawa kepada akibat yang tidak baik.[4]
Bagi kaum asy’ariyah faham ini tidak dapat berjalan sejajar dengan keyakinan mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlaq Tuhan dan tentang tidak adanya kewajiban-kewajinban bagi Tuhan,  Tuhan tidak mempunyai kewajinban menepati janji dan menjalankan ancaman yang tersebut dalam Qur’an dan Hadits.[5]
  1. Aliran Maturidiyah
Kaum maturidiyah golongan Bukhara sefaham denga kaum asy’ariyah tentang tidak adanya kewajiban bagi Tuhan.[6] Namun, sebagaimana dijelaskan oleh Badzawi, Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi upah kepada orang yang berbuat baik walaupun Tuhan mungkin saja membatalkan ancaman bagi orang yang berdosa besar. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara  tentang pengiriman Rasul, sesuai dengan paham mereka tentang kekuasaan dan kehendak mutlaq tuhan, tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.[7]
B.     Perbuatan Manusia
Masalah perbuatan manusia bermula dari pembahasan sederhana yang dilakukan oleh kelompok Jabariyah (pengikut ja’d bin dirham dan Jahm bin Shafwan) dan kelompok Qadariyah (pengikut ma’bad al-Juhani dan ghailan ad-dimsyaqi), yang kemudian dilanjutkan dengan pembahasan yang lebih mendalam oleh aliran Mu’taziah, Asy’ariyah, dan Maturidiyah.[8]
Akar dari masalah perbuatan manusia adalah keyakinan bahwa Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk didalamnya manusia sendiri. Tuhan bersifat maha kuasa dan mempunya kehendak yang bersifat mutlaq. Dari sini timbullah satu pertanyaan, sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan bergantung pada kehendak dan kekuasaan Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya ? apakah manusia diberi  kemerdekaan dalam mengatur hidupnya oleh tuhan? Atau apakah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlaq Tuhan?.[9]
1.      Aliran Jabariyah
Ada perbedaan pandangan antara Jabariyah ekstrim dengan Jabariyah Moderat dala masalah perbuatan manusia. Jabaariyah ekstrim berpendapat bahwa segala perbuatan manusia bukan merupakan perbuatan yang timbul dari kemauannya sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Misalnya, kalau seseorang mencuri, perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendak sendiri, tetapi timbul karena qadha dan qadar Tuahan yang menhendaki demikian. Menurut Jahm bin Shafwan, salah seorang tokoh Jabariyah Ekstrim, mengatakan bahwa manusia tidak mampu berbuat apa-apa. Ia tidak mempunyai daya, tidak mempunya kehendak sendiri, dan tidak mempunyai pilihan.
Menurut Jabariyah Moderat bahwa Tuhan menciptakan perbuatan manusia, baik perbuatan jahat maupun perbuatan baik, tetapi manusia mempunyai peranan didalamnya. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunya efek untuk mewujudkan perbuatannya. Inilah yang dimaksud dengan kasab (acquisition). Merurut faham kasab, manusia tidaklah majbur (dipaksa oleh Tuhan), tidak seperti wayang yang dikendalikan oleh dalang dan tidak pula menjadi pencipta perbuatan, tetapi mansia itu memperoleh perbuatan yang diciptakan Tuhan.[10]
2.      Alirah Qadariyah
Alirah Qadariyah menyatakan bahwa segala tingkah laku manusia dilakukan atas kehendaknya sendiri. Manusia mempunyai kewenagan untuk melakukan segala perbuatannya atas kehendaknya sendiri, baik perbuatan baik maupun perbuatan jahat. Oleh karena itu ia berhak mendapatkan pahala atas kebaikan yang dilakukannya dan juga berhak pula memperoleh hukuman atas kejahatan yang diperbuatnya.
Faham takdir dalam pandangan Qadariya bukanlah dalam pengertian takdir yang umum dipakai oleh bangsa Arab ketika itu, yaitu faham yang menyatakan bahwaa nasib manusia telah ditentukan terlebih dahulu. Menurut bangsa Arab, dalam perbuatan-perbuatannya manisia hanya bertindak menurut nasib yang telah ditentukan semenjak ajal terhadap dirinya. Adapun menurut faham Qadariyah, takdir itu adalah ketentuan Allah yang diciptakan-Nya untuk alam semesta beserta isinya, semenjak ajal, yaitu hukum yang dalam istilah al-Qur’an adalah sunnatullah.
Aliran Qadariyah berpendapat bahwa tidak ada alasan yang tepat menyandarka segala perbuatan manusia kepada perbuatan Tuhan. Doktrin-doktrin ini mempunyai tempat pijakan dalam doktrin Islam sendiri. Banyak ayat al-Qur’an yang mendukung ayat ini, misalnya dalam surat al-Kahfi ayat 29 :
`yJsù uä!$x© `ÏB÷sãù=sù ÆtBur uä!$x© öàÿõ3uù=sù 4
Artinya: Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka Barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan Barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". (QS: al-Kahfi : 29)
Dalam surat ar-Ra’d ayat 11 disebutkan:
žcÎ) ©!$# Ÿw çŽÉitóム$tB BQöqs)Î/ 4Ó®Lym (#rçŽÉitóム$tB öNÍkŦàÿRr'Î/
Artinya:  Sesungguhnya Allah tidak merobah Keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.(QS: ar-Ra’d : 11)
3.      Aliran Mu’tazilah
Aliran Mu’tazilah memandang bahwa perbuatan manusia tidak diciptakan Tuhan, melainkan yang diciptakan Tuhan adalah daya dan manusia mempergunakan daya tersebut dalam mewujudkan pebuatannya. Sebagaimana yang dikatakan oleh ‘Abd Al-Jabbar, salah seorang tokoh Mu’tazilah: “Perbuatan manusia tidak diciptakan pada diri mereka, tetapi manusia yang mewujudkan perbuatannya.[11]
Jadi, setelah Tuhan menciptakan daya pada manusia Ia melepaskan campur tangan-Nya pada penggunaan daya tersebut, dan daya Tuhan tidak terdapat dalam perbuatan terwujud. Dari itulah Abu Al-Huzail, salah seorang tokoh aliran lain menganngap mustahil adanya dua perbuatan dalam satu perbuatan yang terwujud. Dengan demikian, aliran Mu’tazilah memandan manusia sebagai pemegang peranan utama dalam mewujudkan perbuatan-Nya. Ia memiliki kebebasan untuk memilih perbuatannya, karena perbuatan itu tidak diciptakan Tuhan dalam dirinya. Pertanggungjawaban moral yang dibebankan Tuhan pada manusia adalah atas perbuatan yang dipilih manusia dengan kehendaknya sendiri, bukan karena terpaksa. Demikian pula, pembebanan atau taklif, pembebanan dosa dan pahala, adalah atas perbuatan yang dipilih manusia dengan kebebasan yang dipilihnya.
Dengan pendapat yang demikian, aliran mu’tazilah memberikan kebebasan yang besar kepada manusia dalam mewujudkan perbuatannya, namun bukan berarti kaum mu’tazilah memberikan kebebasan tanpa batas kepada manusia untuk berbuat.[12]
4.      Aliran Asy’ariyah
Dalam faham Asy’ariy, manusia ditempatkan dalam posisi yang lemah. Ia diibaratkan anak kecil yang tidak memiliki pilihan dalam hidupnya. Oleh karena itu, aliran ini lebih dekat dengan aliran Jabariyah daripada faham Mu’tazilah. Untuk menjelaskan dasar pijakannya Asy’ariy, asy’ariy sebagai pendiri aliran Asy’ariyah, memakai teori Al-kasb (acquisition, perolehan). Teori Al-Kasb Asy’ariy dapat dijelaskan sebagai berikut: segala sesuatu terjadi dengan perantaraan daya yang diciptakan, sehingga menjadi perolehan bagi mu’tasib yang memperoleh kasab untuk melakukan perbuatan. Sebagai konsekuensi dari teori kasb ini, manusia kehilangan keaktifan, sehingga manusia bersikap pasif dalam perbuatannya.[13]
Argumen yang diajukan oleh Asy’ariyah untuk membela keyakinannya adalah firman Allah:
QS. Ash-Saaffat ayat 96:
ª!$#ur ö/ä3s)n=s{ $tBur tbqè=yJ÷ès? ÇÒÏÈ  
Artinya: “Padahal Allah-lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu". (QS. Ash-Saaffat: 96)
Wa ma ta’malun pada ayat di atas diartikan Al-Asy’ari dengan apa yang kamu perbuat dan bukan apa yang kau buat. Dengan demikian, ayat ini mengandung arti Allah menciptakan kamu dan perbuatan-perbuatanmu. Dengan kata lain, dalam faham Asy’ari yang mewujudkan kasb atau perbuatan manusia sebenarnya adalah Tuhan sendiri.
Aliran Asy’ariyah berpendapat bahwa perbuatan manusia diciptakan Allah, sedangkan daya manusia tidak mempunyai efek untuk mewujudkannya, dengan demikian Kasb mempunyai pengertian penyertaan perbuatan dengan daya manusia yang baru. Ini implikasi bahwa perbuatan manusia dibarengi kehendaknya, dan bukan atas daya kehendaknya.
5.      Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan manusia ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah Samarkand dan Maturidiyah bukhara. Kelompok pertama lebih dekat dengan faham mu’tazilah, sedangkan kelompok kedua lebih dekat dengan faham Asy’ariya. Kehendak dan daya buat pada diri manusia manurut Maturidiyah Samarkand adalah kehendak dan daya manusia dalam arti kata sebenarnya, dan bukan dalam arti kiasan. Perbedaannya dengan Mu’tazilah adalah bahwa daya untuk berbuat tidak diciptakan sebelumnya, tetapi bersama-sama dengan perbuatannya. Daya yang demikian posisinya lebih kecil daripada daya yang terdapat dalam faham Mu’tazilah. Oleh karena itu, manusia dalam faham Al-Maturidi, tidaklah sebebas manusia dalam faham Mu’tazilah.
          Maturidiyah bukhara dalam banyak hal sependapat dengan Maturidiyah Samarkand. Hanya saja golongan ini memberikan tambahan dalam masalah daya menurutnya untuk perwujudan perbuatan, perlu ada dua daya. Manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya.[14]










BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Semua aliran dalam pemikiran kalam berpandangan bahwa tuhan melakukan perbuatan. Perbuatan disini dipandang dari segi konsekuensi logis dari dzat yang memiliki kemampuan untuk melakukannya.
Ada beberapa aliran yang berpendapat bahwa perbuatan Tuhan adalah terbatas pada perbuatan yang baik-baik saja, dengan alasan bahwa Allah tidak menciptakan langit dan bumu dan apa-apa diantara keduanya melainkan dengan tujuan yang benar. Namun bukan berarti bahwa Tuhan tidak mampu berbuat buk, tapi Alah tidak mau karena Ia tau keburukan sesuatu.
Sedang mengenai perbuatan manusia, ada beberapa aliran yang berpendapat bahwa semua perbuatan yang dilakukan manusia adalah dari Allah, dengan alasan bahwa manusia tidak mempunyai kemampuan melainkan apa yang tekan diberikan Allah kepadanya, dan ada pula yang berpendapan bahwa perbuatan yang dilakukan manusia adalah merupakan hasil perbuatannya sendiri, karena mereka beranggapan bahwa Allah hanya memberikan daya untuk berbuat, dan terserah manusia mau menggunakan daya itu untuk apa saja.
B.       Saran
     Dalam berbicara sebisa mungkin kita harus menghindari kata-kata yang dapat menimbulkan kesalahpahaman. Karena bermula dari kesalahpahaman dapat mengakibatkan adanya perbedaan bahkan pertentangan. Oleh karena itu, sebaiknya kata-kata yang kita ucapkan sebisa mungkin harus sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran kita, apalagi tidak semua kata dapat mewakili apa yang ada dalam pikiran kita. Pemilihan kata yang tidak ambigu dan sesuai dengan situasi merupakan jalan terbaik untuk menjalin keharmonisan dalam berkomunikasi.  








DAFTAR PUSTAKA

1.       Anwar Rosihon dan Rozaq Abdul, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung 2006
2.       Nasution Harun, Teologi Islam, UI Press, Jakarta 1986
3.       Lubis Arbiyah, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, Bulan Bintang, Jakarta 1993


[1] Rosihon Anwar dan Abdul Rozaq, Ilmu Kalam, Pustaka Setia, Bandung 2006, hlm. 153-154.
[2] Ibid., hlm. 154-155.
[3] Harun Nasution, Teologi Islam, UI Press, Jakarta 1986, hlm. 128.
[4] Ibid., hlm. 131.
[5] Ibid., hlm. 133.
[6] Ibid., hlm. 128.
[7] Rosihon Anwar dan Abdul Rozaq, Ilmu Kalam…,  hlm. 157-158.
[8] Ibid., hlm. 159-160.
[9] Ibid., hlm. 160.
[10] Ibid., hlm. 160.
[11] Arbiyah Lubis, Pemikiran Muhammadiyah dan Muhammad Abduh, Bulan Bintang, Jakarta 1993, hlm. 28.
[12] Ibid., hlm. 29-30.
[13] Rosihon Anwar dan Abdul Rozaq, Ilmu Kalam…,  hlm. 165.
[14] Ibid., hlm. 166